
Angkie Yudistia telah divonis tunarungu sejak umurnya 10 tahun. Ia mengaku, gangguan pendengaran yang ia alami ternyata berasal dari pemakaian antibiotik yang berlebihan yang diberikan orangtuanya ketika ia sakit di waktu kecil.
"Dari kecil saya sering sakit-sakitan dan orang tua sering memberi antibiotik terus menerus jika saya sakit. Tiba-tiba pada usia 10 tahun saya divonis menjadi seorang tunarungu," ujar Angkie, dalam artikel detikHealth yang ditulis ulang Rabu (5/9/2012).
Hal ini dibenarkan oleh audiologist dan pakar pendidikan anak tunarungu PABD Melawai, Drs. Anton Subarto, Dipl Aud.
"Pemakaian antibiotik dalam dosis tinggi dan berlebihan memang bisa jadi faktor pemicu seorang terkena tunarungu. Obat-obatan seperti pilkina dan aspirin pun bisa menjadikan anak mengalami gangguan pendengaran," ujar Anton.
Saat itu, telinga kanan Angkie hanya mampu mendengar suara 70 desibel sedangkan yang kiri 98 desibel. Sementara, rata-rata percakapan pada manusia normal berada di 40 desibel.
Angkie yang divonis tunarungu pun kemudian dibawa orangtuanya untuk berobat ke berbagai tempat. Ia sudah mencari berbagai pengobatan alternatif tapi tidak ada yang cocok.
Akhirnya pada usia 16 tahun, Angkie mulai menggunakan alat bantu dengar. Namun ia mengaku selama 6 tahun hidup dalam kesunyian, ia merasa sangat tersiksa dan terhambat aktivitasnya.
Praktis keterbatasan Angkie itu menimbulkan banyak masalah selama belajar di SD hingga SMA. Tak jarang ia mengaku sering kali menerima cacian dan hinaan.
Dilema dihadapi Angkie saat lulus SMA. Dokter yang merawatnya menyarankan agar ia tidak melanjutkan kuliah karena stres bisa memperparah kondisi pendengarannya.
Namun Angkie ngotot untuk tetap meneruskan pendidikannya. Ia kemudian kuliah dan menyelesaikan studinya di jurusan periklanan di London School of Public Relations (LSPR), Jakarta, dan lulus dengan indeks prestasi komulatif 3,5.
Tekad Angkie yang kuat dan kemauan untuk terus menggali potensi diri, membuatnya tumbuh menjadi anak yang penuh percaya diri. Semasa kuliah, ia selalu aktif dalam berbagai kegiatan positif.
Angkie tercatat sebagai finalis Abang None mewakili wilayah Jakarta Barat tahun 2008. Selain itu ia juga berhasil terpilih sebagai The Most Fearless Female Cosmopolitan 2008, serta Miss Congeniality dari Natur-e, serta berbagai perestasi lainnya.
Kecintaan Angkie di dunia pendidikan pun mengantarnya meraih gelar master setelah lulus dari bidang komunikasi pemasaran lewat program akselerasi di LSPR.
Pemilik tinggi 170 cm dan berat 53 kg itu pernah pula bekerja sebagai humas di beberapa perusahaan.
"Tapi bukan berarti aku nggak pernah ditolak kerja ya, sudah sering banget. Alasannya karena waktu mereka tahu aku tunarungu dan nggak bisa pakai telepon," kisahnya.
Pengalaman Angkie didiskriminasi itu kemudian memotivasinya untuk membuat Thisable Enterprise bersama rekannya. Perusahaan itu fokus pada misi sosial, khususnya membantu orang yang memiliki keterbatasan fisik alias difable (Different Ability People) seperti dirinya.
Berbagai pengalaman hidupnya mencari jati diri kemudian dituangkannya lewat buku berjudul 'Invaluable Experience to Pursue Dream' (Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas) akhir 2011 lalu.
Sosok Angkie dan segudang prestasinya itu menunjukkan bahwa setiap orang, bahkan yang punya cacat fisik sekalipun bisa jadi luar biasa.
"Keterbatasan bisa jadi kelebihan. Setiap masalah pasti ada jalan keluar asal ada kemauan," ucap Angkie yang kini menjabat sebagai Founder dan CEO Thisable Enterprise
Merry Wahyuningsih - detikHealth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar