7 Agu 2009

Antara Rumah Sakit Malaikat & Rumah Sakit Setan

Hingga saat ini, kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia masih jauh dari harapan. Saat ini, seperti yang umum dikeluhkan masyarakat, biaya kesehatan sangatlah mahal. Tidak adanya aturan perundang-undangan, Standar Profesi, dan Standar Pelayanan Medis yang jelas bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan (paramedis), semakin menambah runyam persoalan pelayanan kesehatan.
Lalu, apa yang terjadi kalau orang Indonesia sakit dan membutuhkan perawatan? Pilihannya tinggal dua: ketemu rumah sakit malaikat atau rumah sakit setan. Begitulah suara sumbang yang muncul dalam pembicaraan sehari-hari.Kalau pasien ketemu rumah sakit atau dokter malaikat, beruntunglah mereka, karena akan ditangani dengan baik sesuai penyakitnya.

Sialnya, jika ketemu rumah sakit setan. Pasien akan dirawat berlama-lama, meski sudah sembuh. Tetapi, trik ini sudah kuno. Yang sekarang terjadi, begitu pasien masuk, langsung dilakukan pemeriksaan lengkap, memakai peralatan canggih seperti magnetic resonance imaging (MRI), USG (Ultrasonograf) tiga dimensi, computerized tomographic scanner (CT Scanner) dan lain-lain, meski tidak diperlukan.

Benarkah rumor seperti itu?

Oh iya, hal-hal seperti itu memang terjadi, kata Dr. Marius Widjajarta SE, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI).

Bahkan pernah terjadi pasien yang mengeluh batuk pilek langsung masuk Unit Gawat Darurat dan discanning. Kalau sudah begitu biayanya bisa mencapai 2-3 juta rupiah. Nanti, kalau koceknya sudah diperas habis-habisan tinggal tulangnya dilempar ke rumah sakit lain, lanjut dokter Marius.

Ada pula pasien yang didiagnosis keroyokan. Istilahnya paket lima. Begitu pasien masuk rumah sakit langsung diperiksa lima dokter spesialis sekaligus. Akibatnya, biaya yang harus dikeluarkan pasien jadi membengkak. Sedihnya lagi, ibu hamil pun dikerjai. Dengan berbagai dalih mereka diharuskan melahirkan melalui operasi cesar. Bahkan ada rumah sakit bersalin yang 60 persen pasiennya melahirkan dengan cara operasi.

Nah, trik operasi cesar pun ternyata sudah ketinggalan zaman. Yang terbaru adalah paket operasi cesar plus ambil usus buntu. Rupanya, tidak hanya restoran fried chicken yang mengeluarkan PAHE -- paket hemat tapi tidak hemat-- dokter pun demikian.

Mengapa dokter tega berbuat begitu? Seorang dokter mengaku ditekan oleh rumah sakit tempatnya bekerja. Saya mendapat laporan dari salah satu rekan sejawat kalau dia tidak mau melakukan yang mereka inginkan, dia akan dipecat, kata dokter Marius.

Tipu-tipu rumah sakit macam ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, hanya saja kalau dulu masih malu-malu, sekarang ini makin menggila karena persaingan semakin ketat.

Kalau sudah begitu keadaannya, Anda jangan heran bila periksa ke rumah sakit A dikatakan gagal ginjal, sementara rumah sakit B mengatakan Anda sakit kanker. Padahal mungkin penyakit Anda mungkin tidaklah seseram itu. Bagi yang punya uang berlebih, bisa pergi ke Singapura, untuk mendapatkan diagnosis bandingan. Nah, yang koceknya pas-pasan tinggallah dilempar kiri kanan sampai uangnya ludes. Menggambarkan kondisi pelayanan kesehatan Indonesia memang seperti masuk hutan belantara. Tak ada rambu-rambunya. Orang berlalu lintas saja diatur dengan rambu lalu lintas, sementara yang menyangkut kesehatan dan nyawa manusia sama sekali tak ada aturan dan standar yang jelas. Misalnya, aturan perundang-undangan, Standar Profesi atau Standar Pelayanan Tenaga Kesehatan. Akibatnya, pelayanan kesehatan tidak lagi berdasarkan kemanusiaan, tetapi bisnis. Siapa yang mampu membayar, dialah yang berhak menikmati pelayanan maksimal. Sering kali, begitu pasien datang untuk mendapatkan pertolongan, yang pertama ditanya petugas rumah sakit bukan apa penyakitnya. Mereka lebih dulu ditanya mengenai pembiayaan dan siapa penanggung jawabnya. Meskipun masyarakat ekonomi lemah berhak mendapatkan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma, hal itu masih sebatas wacana alias lips service saja. Kalau orang miskin sakit, ibaratnya tinggal menunggu mati saja, kata Dr. Marius. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang lebih dari 10 tahun diundangkan, hingga kini belum ada kepastian hukum dan perlindungan hukumnya, baik bagi paramedis maupun bagi penerima pelayanan kesehatan (pasien). Salah satunya, belum ada peraturan yang mengatur soal malapraktik yang dilakukan oleh dokter. Kembali lagi yang merana konsumen kesehatan. Pasien sulit menuntut dokter secara hukum, sebab tidak ada standar yang membedakan mana tindakan malpraktik, kecelakaan dan kelalaian. Kalau hakim memakai pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dokter bisa berkelit, masak tenaga profesional disamakan dengan tukang jambret? Misalkan, seorang dokter bergelar profesor melakukan operasi lalu pasiennya mati, tentu mereka tak mau disamakan dengan tukang jambret yang nodong di Blok M, kemudian korbannya mati ditusuk. Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia yang sejak November 1998-Juli 2003 menangani 254 kasus, 90 persen menyelesaikan kasusnya melalui mediasi. Untuk penggantian dibawah 100 juta, beberapa kali bisa kita dapatkan, ujar Dr. Marius. Tapi jangan harap bisa sampai ke pengadilan, tambahnya. Dokternya pasti menang terus, sebab hakim tak bisa membedakan mana malpraktik, mana kelalaian, mana kecelakaan, karena standarnya memang tidak ada.

Bayar Dulu Baru Sakit.

Satu hal yang bisa mencegah merajalelanya rumah sakit setan adalah sistem asuransi sosial yang akan segera diberlakukan pemerintah.

Pemerintah dan DPR sudah berkomitmen menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (RUU SJSN) dan Undang-Undang Asuransi Kesehatan Sosial Nasional.

Dengan undang-undang tersebut, semua penduduk Indonesia diwajibkan memiliki asuransi sosial untuk mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan. Bagi penduduk miskin, premi dibayar pemerintah daerah setempat.

TNI, pegawai negeri, dan pegawai swasta, bisa mendapatkan asuransi melalui instansi masing-masing. Sedangkan yang bekerja secara informal dan mampu secara ekonomi dapat mendaftarkan diri secara langsung ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yaitu PT Askes, PT Taspen, PT Asabri, dan PT Jamsostek. Asuransi ini memungkinkan masyarakat mendapat layanan kesehatan dasar, mulai dari puskesmas atau klinik kesehatan sampai rumah sakit yang menjadi rujukan. Setengah dari premi asuransi kesehatan dibayar pemilik usaha yang memiliki pekerja atau pemberi kerja, selebihnya dipotong dari gaji pekerja. Asuransi berlaku untuk peserta yang terdaftar berikut anggota keluarganya. Bagi masyarakat miskin, pemerintah mengeluarkan kartu sehat yang berfungsi sebagai polis asuransi sosial. Dengan kartu tersebut, masyarakat bisa mengakses pelayanan kesehatan gratis sesuai dengan standar layanan kesehatan dasar. Pemerintah daerah akan membayar premi asuransi sosial untuk masyarakat miskin Rp 6.500 per orang per bulan. Dengan sistem asuransi ini akan ada pergeseran dari sakit baru bayar menjadi bayar baru sakit. Orang harus membayar dulu, dan jika mengalami gangguan kesehatan tinggal menggunakan fasilitas haknya. Bila sistem asuransi ini diberlakukan, dokter dan rumah sakit tidak bisa main-main lagi. Kalau reputasi mereka buruk, tentu tidak akan dipakai sebagai rujukan oleh perusahaan asuransi. Perusahana asuransi dalam hal ini akan membuat kriteria tersediri, misalnya, kalau pasien sakit A maka biaya yang akan diganti hanya pelayanan yang memang berkaitan dengan penyakitnya. Bila ada tindakan medik diluar semestinya, akan menjadi tanggungjawab dokter dan rumah sakit yang bersangkutan. Dengan demikian rumah sakit dan dokter setan yang selama ini bertindak seenak udelnya akan rontok dengan sendirinya. Semoga warga Indonesia berkesempatan mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Kalangan rumah sakit sebaiknya mau merenungkan kembali layanan rumah sakit-nya kepada masyarakat. Berani mengakui kelemahan yang ada dan memperbaikinya.

KafeDago

Tidak ada komentar:

Posting Komentar